Posisi kamera milik Supri yang horizontal saat itu langsung ia ubah menjadi vertikal demi bisa mendapatkan frame kaki presiden yang hanya memakai celana pendek.
Foto jepretannya itu kemudian menjadi salah satu foto paling bersejarah dalam dinamika perpolitikan Indonesia.
Kelak, bertahun-tahun setelahnya, bertahun-tahun setelah Gus Dur meninggal dunia. Kisah tentang akhir masa jabatan Gus Dur yang saat itu harus turun karena "dilengserkan" itu akhirnya menjadi drama kolosal tersendiri yang tersaji dalam sebuah buku berjudul “Menjerat Gus Dur”
Rasanya tak banyak yang menyangka, bahwa buku “Menjerat Gus Dur” yang ditulis oleh wartawan muda Virdika Rizky Utama ini bakal menjadi buku yang, boleh dibilang, paling menggemparkan di penghujung tahun 2019 kemarin. Betapa tidak, ia membongkar banyak sekali fakta bawah tanah terkait dengan pelengseran Gus Dur sebagai Presiden.
Dalam wawancaranya di Kick Andy, Gus Dur pernah mengatakan bahwa kelak, kisah tentang pelengserannya akan terbuka dan tersibak oleh sejarah di masa depan.
“Besok-besok akan terbukti oleh bangsa ini sendiri,” begitu kata Gus Dur.
Saya pikir, buku yang ditulis oleh Virdika adalah salah satu bagian dari sejarah itu.
Buku “Menjerat Gus Dur” seperti ditakdirkan menjadi sebuah lintasan tersendiri. “Wis dalane Gusti Allah.” Lha gimana, dokumen-dokumen penting yang berisi tentang banyak informasi tentang skenario pelengseran Gus Dur ternyata ditemukan secara tak sengaja oleh Virdika pada 2017 lalu di kantor DPP partai Golkar. Saat itu, ia bekerja sebagai jurnalis Majalah Gatra dan sedang meliput satu tahun perkembangan renovasi kantor Golkar.
“Ambil aja, Mas. Ini juga mau dikiloin,” begitu kata petugas kebersihan kantor Golkar.
Kalau saja tidak “jatuh” ke tangan Virdika, dokumen-dokumen tersebut rencananya bakal jatuh ke tangan tukang loak.
Konon katanya, naskah buku ini sempat ditawarkan ke beberapa penerbit, namun tak ada yang berani menerbitkan. Beruntung, akhirnya naskah itu jatuh ke tangan penerbit yang tepat dan pas: NU Media Digital, penerbit yang masih berafiliasi dengan NU.
Maka, ketika buku ini dicetak terbatas pada cetakan pertama, yakni 500 eksemplar, ia langsung ludes terjual. Tentu saja sebagian besar yang beli adalah orang-orang NU sendiri, yang menurut dugaan saya, merasa penting untuk tahu tentang apa yang terjadi pada Gus Dur.
Buku “Menjerat Gus Dur” nenampilkan dengan gamblang, skenario pelengseran Gus Dur lengkap dengan potongan dokumen tentang apa yang disebut sebagai Skenario Semut Merah, sebuah skenario untuk menjatuhkan kredibilitas Gus Dur sebagai presiden melalui berbagai upaya termasuk rekayasa kasus Buloggate dan Brunaigate.
Yang membikin terbelalak tentu saja adalah begitu banyaknya nama-nama yang kita tak menyangka bahwa mereka ikut terlibat. Semuanya lengkap dengan perannya masing-masing. Dari mulai Hamdan Zoelva, Patrialis Akbar, Ali Marwan, dan beberapa tokoh lainnya yang bertugas mengomandoi aksi mahasiswa dan pemuda saat sidang paripurna.
Juga ada campur tangan Bambang Tri Atmojo dan Arifin Panigoro yang berperan mendukung aksi borong dollar di pasar valuta asing untuk menjatuhkan nilai tukar rupiah.
Lalu ada Parni Hadi dan Surya Paloh yang kebagian tugas untuk meng-arrange proses blow up berita di media massa tentang tuntutan mundur terhadap Gus Dur.
Sampai yang tak kalah mengagetkan, adanya peran Dien Syamsuddin yang dalam dokumen ditulis punya andil mengendalikan MUI melalui kasus Ajinomoto yang disebut punya dampak besar, yakni memaksa para ulama dan tokoh agama untuk mencabut dukungannya pada Gus Dur.
Banyaknya tokoh yang disebut inilah yang kemudian menjadi magnet utama buku ini.
Tak berlebihan jika kemudian banyak yang mengkhawatirkankeselamatan penulis sebab sudah berani membongkar sesuatu yang orang lain tak berani membongkar.
Kepada Virdika, Greg Barton, penulis biografi Gus Dur yang juga memberi kata pengantar dalam buku “Menjerat Gus Dur” bahkan sampai mengatakan sesuatu yang melegakan namun menakutkan: “Saya bersyukur, kamu masih sehat dan hidup.”
Virdika seakan tak takut dengan apa yang sudah ia tulis. Ia tak ubahnya seperti menulis tulisan yang biasa.
Ketika saya bertemu dengan Virdika beberapa wkktu yang lalu dalam acara Haul Gus Dur di Ciganjur, saya melihat dengan jelas tampangnya yang santai. Sesekali pasang muka prengas-prenges. Tak tampak sedikit pun bahwa ia menulis sesuatu yang sangat berpotensi mengganggu kesehatan tubuhnya.
Gerik-geriknya benar-benar mewakili apa yang menjadi khas Gus Dur: Gitu aja kok repot. Virdi tetap menjadi sosok yang santai. Sesantai Gus Dur yang ketika dituduh kafir, ia menjawab dengan jawaban yang ndlogok dan los: “Kafir nggak papa, kan tinggal syahadat lagi, jadi Islam lagi.”
Sembari membaca buku ini, saya berdoa semoga Virdika diberi kesehatan dan keselamatan. Doa yang juga saya tujukan untuk petugas kebersihan kantor Golkar.
Semoga mereka berdua senantiasa sehat.
(Agus Mulyadi)
Facebook Conversations