Sejarah Mengayau Berburu Kepala Di Kalimantan Oleh Suku Dayak
Kayau itu adalah kata-kata yang sangat angker dan menjadikannya momok menakutkan bagi masyarakat yang belum mengenalnya.

Menurut pandangan orang Dayak kepala itu adalah memiliki kekuatan supranatural yang sangat tinggi dan juga sebagai simbol tingginya strata/status sosial seseorang di dalam masyarakat apabila semakin banyak mendapatkan kepala, bahkan dalam tradisi adat Dayak Kenyah apabila seseorang tersebut memiliki banyak kepala hasil mengayau, maka akan berhak memiliki Taring Macan Kumbang di telinga, dan di sebagian daerah kalimatan ini kehormatan tersebut bisa diberikan dengan cara membuatkan motif tato khusus ( tergantung daerah ).

Biasanya semakin banyak hasil kayau itu bisa dilihat dari Mandaunya (terutama Dayak yang di Kalteng), yaitu ketika semakin banyaknya Rambut di Hulu Mandau dan juga semakin banyak tato yang iya punya seperti tato melingkar ( biasanya para Pangkalima yang memili tato ini ).

Sebenarnya kayau itu sendiri tidak seperti apa yang masyarakat selama ini tafsirkan, adapun para penulis-penulis menyatakan bahwa kayau itu adalah “pemburu kepala”, sebenarnya tidak tepat bila dikatakan demikian, karena kayau itu sendiri hakekatnya adalah bukan “memburu” namun lebih tepat dikatakan "hukum sebab akibat" di tatanan masyarakat Dayak, karena ketika dia berbuat maka dia yang menanggung dari akibat pebuatan tersebut.

Kayau menurut tradisi Dayak adalah dimana sesorang (kesatria) itu memang harus memotong kepala demi satu tujuan, yang dimana tujuan tersebut mempunyai tujuan yang jelas dan tersistematis dan dalam tujuan tersebut tidak bisa asal-asalan, karena masyarakat adat dayak juga mempunyai adat ataupun aturan yang melarang tentang pembunuhan, ini yang dikenal dengan sebutan, putang (Dayak Katingan), hasaki'/manyaki' (Dayak Katingan) adapun jenis kayau menurut versi Kapuas (Dayak Ot Danum) dan katingan (Dayak Katingan, keluarga atau sub suku Dayak Ngaju) adalah sebag

1. Kayau Tabuh, adalah dimana ketika ada suatu peperangan memang mengharuskan mereka untuk memotong kepala dan atau karena keterpaksaan sehingga memang dilakukan seperti itu. Kenyah pada zaman sebelum penjajahan ataupun misionaris datang ke pulau kalimantan.

2. Kayau Asang, adalah keinginan seseorang untuk mencari kekuasaan dan kekuatan atau hanya ingin mencari status sosial yang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng).

3. Kayau Adat, adalah seperti yang kita tahu selama ini adalah pertama untuk suatu upacara tiwah maka harus ada kepala manusia untuk sebagai syarat pelengkap tiwah, yang dimana fungsinya itu sendiri adalah untuk menjadikan yang kena kayau tersebut sebagai budak di alam nirvana.

Upacara tiwah itu sendiri adalah upacara pengangkatan tulang belulang orang yang sudah mati, untuk dipindahkan ke Sandung (lihat. Kahayan) atau Pambak ( Katingan), yang dimana tujuannya itu sendiri adalah untuk menyempurnakan perjalanan orang yang sudah mati tersebut ke alam nirvana ke-7 atau disebut dengan “Lewu tatau habaras bulau habusung hintan hakarang lamiang. Lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalasu uhate”.

kemudian yang kedua adalah "kayau adat" karena menghina PENYANG seseorang yang didalam masyarakat adat tersebut (terutama masyarakat adat Dayak Kalteng), karena memang ini disebut dengan PALI' dan bisa mendatangkan kutuk langsung dari Ranying Hatalla Langit bagi si penghina tersebut, begitu juga dengan kampung halaman yang selama dia huni tersebut, dan karena penghinaannya tersebut maka dia biasanya akan dihukum adat oleh tetua adat dengan memenggal kepala.

Yang terpenting perhatian ini hanya terjadi pada zaman dahulu saja, kalau untuk zaman sekarang setelah perjanjian Dayak di Tumbang Anoi, Hal tersebut sudah tidak pernah lagi terjadi.

4. Kayau Habales/Hapalas, maksudnya disini adalah dimana Hakayau tersebut mempunyai tujuan untuk balas dendam akibat kekalahan yang terjadi selama peperangan yang pernah terjadi dan atau pembalasan dendam akibat suku yang lain pernah Mengayau masyarakat suku tersebut.

Namun setelah kolonial Belanda masuk, dengan berbagai cara pula mereka melakukan agar Hakayau tersebut tidak terjadi, karena itulah salah satu momok menakutkan bagi Kolonial Belanda pada saat itu dan juga menjadi penghalang bagi Belanda untuk menguasai tanah Kalimantan. Sehingga merekapun melakukan pendekatan terhadap para sesepuh Dayak, Tetua Adat, Damang, Pisur, untuk menyepakati agar hal itu tidak terjadi, dan melalui politik etis kolonial Belanda ( VOC ) yang akhirnya melahirkan kesepakatan tumbang anoi.Pemerintah Belanda juga mendekati etnis Dayak dengan cara yang halus dan tidak berperang tapi mereka mengunakan “ Misionaris “.

Namun setelah kesepakatan tersebut dilaksanakan agar Hakayau tersebut tidak lagi dilaksanakan bukannya Dayak tidak bisa mengayau lagi tapi justru tambah menguatkan posisi Dayak dan semakin membuat pertahanan Dayak pada zaman itu semakin kuat, dan dengan seiring waktu Kolonial Belanda pun sudah semakin tersingkir, mereka pun akhirnya benar-benar dan pelan-pelan meninggalkan pulau kalimantan karena tekanan yang berubi-tubi oleh penduduk pribumi.

Perjanjian Tumbang Anoi ini merupakan sebuah perjanjian yang sangat penting yang ada di Pulau Kalimantan ini, Karena Perjanjian Inilah Persatuan Suku Dayak semakin dalam dengan filsafat Rumah Betang, berikut isi perjanjian tumbang anoi itu.

YOUR REACTION?


You may also like

Facebook Conversations