Begini ya, loorrr. Siapa bilang jadi guru di era pandemi COVID-19 itu enak. Jam 03.00 harus sudah menyiapkan materi pembelajaran online. Jam 6 mulai mengabsen muridnya. Ada satu saja murid yang belum aktif, guru akan berusaha sekuat tenaga mencari informasi dimana si anak, sedang apa, dan sama siapa. Di grup guru dan murid, guru yang akan mengajar itu terus mencari informasi.
Jam 7 pembelajaran online dimulai. Guru menyampaikan materi pelajaran. Dulu guru boleh mengajar online dari rumah alias WFH atau Work From Home. Sekarang guru harus mengajar online dari sekolah atau WFO atau Work From Office. Murid menyimak di rumah. Sebelum pelajaran online ditutup, guru memberikan tugas untuk dikerjakan murid. Sekitar 2 jam guru mengajar online itu.
Setelah menyampaikan materi, hape guru harus online terus. Setiap saat guru memantau perkembangan murid-muridnya. Murid yang rajin biasanya cepat melaporkan tugasnya. Murid yang agak malas biasanya harus dioyak-oyak alias dikejar-kejar guru agar segera mengumpulkan tugas. Terus begitu hingga semua anak mengerjakan tugasnya.
Saat mengoreksi tugas anak-anak, guru harus download. Jika muridnya ada 10 anak otomatis ada 10 download tugas. Jika ada 300 anak otomatis juga ada 300 anak. Bayangkan kebutuhan kuota untuk download 300 video dan atau foto. Berapa puluh gega kuota habis untuk sekali mengajar. Apakah kuota dibelikan pemerintah atau sekolah? TIDAK....!!!
Kuota yang digunakan untuk pembelajaran harus beli sendiri. Semua juga tahu berapa harga kuota per geganya. Artinya, berapa uang yang harus dikeluarkan guru untuk beli kuota. Ratusan ribu dalam seminggu. Jika ingin hemat, guru bisa memanfaatkan wifi gratis yang ada di sekolah.
Saat mengoreksi pekerjaan anak-anak, guru harus juga melakukan remidi atau perbaikan. Anak yang belum bisa mengerjakan tugas harus dibantu. Biasanya tugasnya lebih ringan agar anak-anak tidak terlalu berat bebannya. ITU BARU URUSAN NGAJARNYA...
Guru itu juga punya keluarga. Punya anak. Anaknya juga harus ikut pembelajaran online. Artinya pengeluaran juga bertambah-tambah. Sangat teramat banyak guru honorer yang honornya cuma 200-500 ribu per bulan. Bayangkan, betapa susahnya kehidupan guru. Dengan melaksanakan pengajaran online ini, apakah gaji atau honor guru dinaikkan? TIDAK...
Tak ada satu pun guru yang senang melaksanakan pembelajaran online. Guru berharap agar bisa membimbing, memandu, mengarahkan anak-anak satu per satu dengan tertib, secara langsung, bukan online begini. Bisa mengetahui perkembangan psikologis anak. Bisa mengetahui perubahan karakter anak.
Jika saat ini terpaksa dilaksanakan pembelajaran online, semata-mata guru hanya melaksanakan tugas yang diberikan pimpinan dan pemerintah. Tidak lebih dari itu. Andai guru diperintahkan untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka, dengan senang hati guru pasti melakukannya.
Masalahnya adalah korban Covid-19 makin banyak. Jumlah pasien positif Corona kian hari kian banyak. Bahkan berlipat-lipat dibandingkan dahulu. Rumah sakit nyaris tidak mampu lagi menampung pasien suspek dan positif. Banyak dokter dan tenaga kesehatan meninggal dunia akibat terkena virus Corona.
Nah, sekarang coba pikir. Di sekolah, anak-anak datang dari mana saja. Ada yang datang dari zona hijau, kuning, hingga merah. Di sekolah, anak-anak itu bertemu teman-temannya. Bermain seperti biasanya. Tidak pernah takut anak-anak dengan Corona karena memang dunia anak-anak adalah dunia bermain.
Usai belajar di sekolah, anak-anak pulang. Bertemu saudaranya, orang tuanya, teman-teman bermainnya. Ternyata ada yang membawa virus Corona itu pulang. Lalu bertemu dengan anak dan atau orang yang kondisi badannya tidak sehat atau drop. Dan akhirnya positif Covid-19. Siapa yang akan disalahkan? MIKIR...
Mari kita berpikir jernih. Jangan emosi dan memancing polemik. Guru tidak menghendaki pembelajaran online. Anak-anak juga sudah kangen dengan teman-temannya. Namun, situasi memang belum mengizinkan. Jika Anda adalah orang tua yang bijak, justru ini adalah kesempatan bagi Anda untuk menunjukkan bahwa Anda adalah orang tua yang baik, bijak, dan pintar. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk membuktikan bahwa Anda tidak sekadar pintar omong kepada anak-anak Anda.
Di sekolah, guru mengurus ratusan anak tanpa mengeluh meskipun harus keluar biaya tambahan yang sangat besar tanpa ada subsidi. Di rumah, Anda mengurus berapa anak? Ayo saling menjaga diri dari prasangka buruk.
Sumber : Postingan akun facebook Muhammad Aziz Zaky Maulana