Yang mau nonton, cekidot :
AYAHBUNDA - Prana Group on Instagram: “Dr. dr. Aman B. Pulungan , Sp.A(K) @amanpulungan memberikan saran kepada Bunda dan Ayah agar anak terlindungi di masa pandemi.”
1. Data anak terjangkit Covid-19 di Indonesia belum mencerminkan angka sebenarnya karena proses pendataan yang sulit, dan memakan waktu (terutama yang di daerah). Jadi, jangan terlena dengan data yang saat ini diumumkan, atau menganggap enteng. Ada kemungkinan ini hanya puncak gunung es. Apalagi data saat ini tidak ada klasifikasi menurut usia.
Hingga saat ini, data IDAI mencatat, ada 14 anak yang positif Covid-19 telah meninggal dunia. 'Setiap Minggu, kami menerima data pasien baru, berdasarkan laporan dari dokter yang merawat,' tutur dr. Aman. Angka ini tertinggi di Asia. Harap dicatat, yang termasuk dalam kategori pasien anak adalah mereka yang berusia 0-18 tahun. 'Seharusnya tugas kita adalah menjaga agar tidak ada anak yang meninggal akibat Covid-19.'
2. Ketika anak positif Covid-19 atau menjadi PDP, akan sulit penanganannya. 'Tidak mudah melakukan swab test pada anak balita,' kata dr. Aman. Bahkan ketika harus dirawat di ruang isolasi, 'anak usia 17 tahun pun menangis, dan minta ditemani orang tua ketika dirawat,' katanya. Saat ini, dari bayi, balita, hingga anak usia 18 tahun pun sudah ada datanya positif Covid-19.
3. Dalam kondisi sekarang, ketika orang masih
#dirumahaja, maka kans anak menularkan virus Covid-19 kepada orang lain 'hanya 5-10 persen'. Namun, peluang orang tuanya utk menularkan anak adalah 90-95 persen. Ketika anak keluar ke area-area publik, maka kemungkinan anak untuk menularkan dan ditularkan juga akan meningkat tajam. 'Anak tidak hanya MUDAH TERTULAR tapi juga MUDAH MENULARKAN,' kata dr. Aman.
4. Media penularan virus COVID-19 oleh anak-anak, tidak hanya droplets dari saluran pernapasan, tapi juga feses dari saluran pencernaan. 'Jadi kebayang anak-anak yang belum terampil membersihkan diri ketika buang air kecil atau air besar, yang di TK, daycare, dan sekolah, dampak penularannya seperti apa,' dr. Aman mengingatkan.
5. Sebelum adanya wabah Covid-19, catatan kesehatan anak di Indonesia belum terlalu baik. Penyakit radang paru-paru (Pneumonia) dan diare adalah pembunuh anak nomer satu di Indonesia. Artinya, tanpa Covid-19 pun, dokter menemukan kasus ISPA dan diare pada anak setiap hari. Itu berarti anak Indonesia rentan terkena penyakit Covid-19, walaupun identifikasinya jauh lebih sulit daripada proses deteksi terhadap orang dewasa. Di satu sisi bisa jadi gejalanya amat ringan (sehingga tidak diperiksakan ke dokter) atau tak menampakkan gejala sama sekali. Namun, di sisi lain, anak-anak dengan penyakit pemberat seperti diabetes, jantung, autoimun bisa terkena dengan gejala yang berat dan menimbulkan kematian.
6. Untuk menjaga agar anak terlindungi dari virus, ORANG TUA harus DISIPLIN menjalankan protokol kesehatan Covid-19. Terutama yang masih harus keluar untuk mencari nafkah. Sering mencuci tangan, memakai masker, dan segera mandi serta ganti baju setiba di rumah sebelum memegang anak. Jangan sembarangan membawa anak keluar, jalan-jalan di area publik, entah itu pasar atau mall, apalagi tidak pakai masker! 'Walaupun ini keliatannya lucu, tapi bagi saya ini menyedihkan sekali,' kata dr. Aman, mengomentari fenomena pasar dan mall yang mulai dipenuhi orang.
7. Karantina atau isolasi yang kini dijalani anak-anak Indonesia berdampak besar bagi kelangsungan kondisi kesehatan fisik maupun mental anak. Pertama, tersendatnya rangkaian imunisasi wajib bagi anak di bawah usia 2 tahun akibat kebijakan pembatasan sosial. 'Sekarang Posyandu tutup semua karena belum mampu membedakan anak yang sakit dan tidak sakit, serta keterbatasan APD,' kata dr. Aman. Untuk anak pada rentang usia ini, penundaan maksimal 'hanya' 1 bulan. Setelah itu, WAJIB IMUNISASI. 'Jika tidak diimunisasi, belum selesai wabah Covid-19, akan muncul wabah lain seperti wabah difteri, wabah polio, wabah TBC dalam beberapa bulan mendatang,' kata dr. Aman, 'kami khawatir akan terjadi generasi yang hilang akibat wabah beruntun seperti ini.'
Apalagi, tingkat kelahiran di Indonesia adalah sekitar 5 juta anak per tahun. Selama 3 bulan masa pembatasan sosial, diperkirakan sudah lahir 1 juta anak. Anak-anak yang baru lahir ini akan terimbas dari penundaan imunisasi. 'Harap orang tua memperhatikan betul tumbuh kembang anak (ukur dan timbang sendiri di rumah), serta mematuhi jadwal imunisasi,' pinta dr. Aman.
Kedua, dampak psikologis terhadap anak yang berbulan-bulan terisolasi di dalam rumah, terpaksa dititipkan ke tetangga atau kerabat karena orang tua sakit, atau bahkan kehilangan orang tuanya akibat Covid-19. 'Itu semua adalah pengalaman yang traumatis bagi anak,' kata dr. Aman. Pengalaman yang menyedihkan semacam itu tak bisa diabaikan.
8. Dalam situasi pandemi, orang tua tentu kalut karena tidak bisa mendatangi dokter seleluasa dulu. Namun, orang tua diharapkan tetap mendatangi dokter secara langsung untuk kondisi yang spesifik dan butuh pertemuan langsung dengan dokter. Misalnya, imunisasi rutin, tahap awal terdiagnosa diabetes, problem pada jantung atau organ pernapasan, atau autoimun. Caranya, dengan mencari informasi mengenai RS yang membedakan penanganan anak yang sakit dan tidak sakit, dan pastikan jadwal periksa (jangan menunggu terlalu lama). Maksimalkan konsultasi dengan dokter melalui telepon, SMS, atau sarana sosmed agar kondisi anak bisa terpantau.
9. Bagaimana kemungkinan anak untuk sekolah? Dr. Aman menekankan, dalam situasi pandemi seperti sekarang, tidak ada alasan anak untuk masuk sekolah. 'Saya sama sekali tidak membolehkan,' katanya, 'jangan berpikir grafik telah melandai! Kami masih temukan kasus-kasus baru setiap minggu.' Dia menambahkan, akibat penyakit flu Singapura saja, satu sekolah bisa tutup sementara apalagi untuk Covid-19 yang amat menular. 'Mana mungkin anak tahan pakai masker lama-lama? Kita aja yang dewasa bisa sesak pakai masker, apalagi anak-anak,' katanya lagi.
Orang tua sebaiknya tidak terburu-buru berasumsi bahwa sekolah akan dibuka ketika masa pandemi belum menunjukkan situasi yang 'relatif aman' menurut para ahli kesehatan anak. Jika PSBB selesai, pemerintah sebaiknya tidak gegabah untuk langsung membuka sekolah juga. 'Apa kita mau seperti di Perancis atau Finlandia?' kata dr. Aman merujuk pada meningkatnya angka anak terinfeksi Covid-19 ketika sekolah dibuka kembali di dua negara tersebut.
Kebijakan membawa anak ke sekolah harus mempertimbangkan dengan seksama kondisi pandemi.
Dia memprediksi, dengan sejumlah kelonggaran dan ketidakpedulian banyak orang terhadap imbauan jaga jarak dan membatasi ke tempat keramaian, angka penderita Covid-19 bakal melonjak.
'Tolong pembuat kebijakan bertanya pada ahlinya soal kesehatan anak. Bukan tanya ke ahli ekonomi, atau ahli pendidikan anak,' kata dr. Aman. Dalam situasi wabah seperti sekarang, penting sekali berkonsultasi dengan para dokter anak, ahli epidemiologi dan ahli imunologi. 'Kami di IDAI punya semua ahli itu hingga ahli psikologi anak, yang, alhamdulillah, belum pernah ditanya sama sekali (oleh pembuat kebijakan),' kata dr. Aman getir.
Penjelasan dr. Aman menegaskan apa yang sudah saya yakini selama ini, meski banyak orang dewasa abai dengan seriusnya ancaman Covid-19 terhadap anak-anak. Intinya, sebagai orang dewasa, kita semua harus bekerjasama dan disiplin menjaga kesehatan dan kebersihan demi keberlangsungan masa depan anak-anak. Kesehatan bukan untuk coba-coba. 'Buat anak kok coba-coba!' Itu kata Iklan loh. Masa orang tua kalah bijak.
Note: foto diambil dari forward yang beredar di WAG, disertai link live IG AyahBunda